Pendidikan suatu bangsa dapat dilihat dari bagaimana ia memuliakan masa-masa paling awal dalam perjalanan belajar anak-anaknya. Baru-baru ini, Wakil Menteri Pendidikan, Fajar Riza Ul Haq, kembali menegaskan komitmen tersebut dengan menyatakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai fondasi utama dari kebijakan Wajib Belajar 13 tahun. Pernyataan ini disampaikan dalam kunjungannya ke dua lembaga pendidikan di Bekasi, menandai sebuah fokus strategis yang patut kita apresiasi dan dalami bersama.
Mendalami Kebijakan Wajib Belajar 13 Tahun
Apa yang dimaksud dengan Wajib Belajar 13 Tahun? Kebijakan ini merupakan perluasan dari wajib belajar 12 tahun, dengan menambahkan satu tahun pendidikan prasekolah (PAUD) sebagai pijakan awalnya. Ini bukan sekadar menambah jumlah tahun, tetapi sebuah perubahan paradigma. Pak Wamendikdasmen menekankan bahwa tahun tambahan ini dirancang untuk membentuk karakter, kebiasaan hidup sehat, dan kesiapan belajar anak—faktor-faktor kritis yang seringkali terabaikan.
Kurikulum Kehidupan Sehari-hari
Lalu, bagaimana implementasinya? Pemerintah tidak hanya berhenti pada wacana. Gagasan “Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat” yang dicetuskan merupakan sebuah kerangka praktis yang dapat diadopsi oleh orang tua dan pendidik. Kebiasaan seperti bangun pagi, olahraga, makan sehat, dan tidur cukup adalah modalitas neurosains dan psikologi perkembangan yang terbukti mampu mengoptimalkan perkembangan otak dan emosi anak.
Peran Orang Tua di Era Gawai
Salah satu poin kritis yang diangkat adalah tantangan parenting di era digital. Peringatan untuk membatasi penggunaan gawai bukanlah sikap anti-teknologi, melainkan sebuah seruan untuk penggunaan yang bijak dan berdampingan (co-use). Paparan gawai yang berlebihan dan tanpa pengawasan terbukti dapat mengganggu pola tidur, kesehatan mata, dan bahkan perkembangan sosial-emosional anak. Di sini, peran orang tua sebagai filter dan pendamping menjadi kunci.
Pilar Penyelenggara Pendidikan
Yang juga menarik untuk dicermati adalah apresiasi tinggi yang diberikan kepada lembaga pendidikan swasta, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Pengakuan ini penting karena menyadari bahwa pemerataan pendidikan berkualitas tidak mungkin dicapai oleh pemerintah sendiri. Lembaga-lembaga swasta ini adalah mitra yang telah lama berjuang di garis depan, terutama di daerah-daerah terpencil, dan kontribusi mereka adalah tulang punggung ekosistem pendidikan Indonesia.
Guru dan Orang Tua adalah Ujung Tombak
Respon dari Kepala TK Aisyiyah 05, Ibu Nur Khairil Asmatus, dan Kepala SDIT Daarul Azka, Ustaz Suryadi, menyiratkan sebuah kebutuhan akan sinergi. Pesan dari Pak Wamendikdasmen tidak hanya menjadi motivasi tetapi juga pengingat bahwa keberhasilan kebijakan ini bergantung pada kolaborasi tiga pihak: pemerintah (sebagai regulator dan fasilitator), sekolah (sebagai pelaksana), dan keluarga (sebagai lingkungan pertama dan utama).
Kebijakan penguatan PAUD ini adalah langkah yang visioner. Ia bergerak melampaui paradigma pendidikan yang hanya mengejar nilai akademis semata. Dengan menanamkan investasi jangka panjang pada kesehatan, karakter, dan kebiasaan baik sejak dini, kita sedang membangun fondasi yang kokoh untuk Generasi Emas 2045. Sebagai pendidik, orang tua, dan pemerhati pendidikan, kita semua diajak untuk terlibat aktif dalam gerakan nasional ini. Mari sukseskan Wajib Belajar 13 Tahun dengan mulai memperkuat dari akarnya.